Monday, March 2, 2015

Sayidatina Fatimah Az Zahra



Kelahiran Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a merupakan rahmat yang telah dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Beliau laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar penyambung zuriat Nabi Muhammad saw. Beliau satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenali umat Islam di seluruh dunia. Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a lahir di Makkah, pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, lima tahun sebelum Nabi Muhammad saw di angkat menjadi Rasul.

Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a tumbuh di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.

Ketika masih anak-anak, Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a sudah mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Dia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun, dia bersama ayah bundanya hidup menderita akibat pemboikotan orang-orang kafir Qurays terhadap keluarga Bani Hasyim.

Setelah bebas penderitaan 3 tahun diboikot, datang pula ujian berat atas diri Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a, saat wafatnya bunda tercinta, Siti Khadijah r.a. Perasaan sedih selalu saja menyelubungi hidup kesehariannya dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.

Nabi Muhammad saw sangat mencintai puterinya ini. Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a adalah puteri bungsu yang paling disayangi dan dikasihi junjungan kita Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad SAW merasa tidak ada seorang pun di dunia, yang paling berkenan di hati baginda dan yang paling dekat di sisinya selain puteri bungsunya itu.

Demikian besar rasa cinta Nabi Muhammad saw kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut Hadis tersebut, Nabi Muhammad saw berkata kepada Sayidina Ali r.a:

“Wahai Ali, sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku, dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…”

Penyataan baginda itu bukan sekadar cetusan emosi, melainkan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri baginda itu merupakan lambang keagungan peribadi yang ditinggalkan di tengah umatnya.

Ketika masih anak-anak, Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a menyaksikan sendiri ujian-uijian getir yang dialami oleh ayah bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Qurays. Sayidatina Fatimah hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir terhadap keluarga Nubuwah, keluarga yang menjadi pusat iman, hidayah dan keutamaan. Dia menyaksikan keteguhan dan ketegasan orang-orang mukmin dalam perjuangan gagah berani menghadapi persekongkolan Qurays. Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a dan memainkan peranan penting dalam pembentukan peribadinya, serta mempersiapkan kekuatan ruhaniah bagi menghadapi segala kesulitan di masa depan.

Setelah ibunya wafat, Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a hidup bersama ayahandanya. Satu-satunya orang yang paling dicintai. Dialah yang meringankan penderitaan Nabi Muhammad saw ketika ditinggal wafat isteri baginda, Siti Khadijah. Pada suatu hari Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Qurays, di saat ayahandanya sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Sayidatina Fatimah r.a segera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air untuk mencucinya. Dia menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang Qurays terhadap ayahnya.

Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad SAW sambil membelai-belai kepala puteri bungsunya itu, berkata, “Jangan menangis…, Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya.”

Dengan tutur kata penuh semangat itu, Nabi Muhammad saw menanamkan daya juang yang tinggi ke dalam jiwa Sayidatina Fatimah r.a dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta kepercayaan bahwa Islam akan menang. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Qurays itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad SAW tetap melaksanakan tugas risalahnya.

Pada ketika lain, Sayidatina Fatimah r.a menyaksikan ayahandanya pulang dengan tubuh penuh dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Nabi Muhammad saw itu adalah Uqbah bin Mu’aith, Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlumuran najis, Sayidatina Fatimah r.a segera membersihkannya dengan air sambil menangis.

Nabi Muhammad rupa-rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qurays itu sudah keterlaluan. Karena itulah maka pada waktu itu baginda memanjatkan doa ke hadrat Allah SWT: “Ya Allah, celakakanlah orang-orang Qurays itu. Ya Allah, binasakanlah Uqbah bin Mu’aith, ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf.”

Masih banyak lagi pelajaran yang diperolehi Sayidatina Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh ujian. Kehidupan yang serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan kekuatan jiwa dan mental.

Tepat pada saat orang-orang Qurays selesai mempersiapkan rencana untuk membunuh Nabi Muhammad saw, Madinah telah siap menerima kedatangan baginda. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Baginda bersama Abu Bakar As Siddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak saudara. Baginda berhijrah sebagaimana dahulu pernah dilakukan juga oleh Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Musa a.s.

Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW termasuk puteri kesayangan baginda, Sayidatina Fatimah r.a dan putera pamannya baginda yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil, yaitu Sayidina Ali r.a yang selama ini menjadi pembantu yang paling dipercayai oleh baginda.

Sayidina Ali r.a sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khas, yaitu berbaring di tempat tidur baginda untuk mengelabuhi orang-orang Qurays yang bersiap hendak membunuh baginda. Sebelum Sayidina Ali r.a melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi Muhammad SAW agar barang-barang amanah yang ada pada baginda dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga, Nabi Muhammad saw segera menyusul berhijrah.

Sayidina Ali r.a membeli seekor unta untuk kenderaan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Nabi Muhammad saw terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Sayidina Ali r.a. Di dalam rombongan Sayidina Ali r.a ini termasuk Sayidatina Fatimah r.a, Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Sayidina Ali r.a), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy ikut bergabung dalam rombongan.

Rombongan Sayidina Ali r.a berangkat dalam keadaan terburu-buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang ditunggang oleh kaum wanita, agar jangan dikejar oleh orang-orang Qurays. Mengetahui hal itu, Sayidina Ali r.a segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya adalah wanita. Rombongan berjalan melalui padang pasir di bawah sengatan terik matahari.

Di Dhajnan, rombongan Sayidina Ali r.a istirahat semalam. Ketika itu tiba Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Sayidina Ali r.a. Bersama Ummu Aiman turut sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Waktu itu masing-masing sungguh sangat rindu ingin segera bertemu dengan Nabi Muhammad saw.

Waktu itu Nabi Muhammad saw bersama Abu Bakar As Siddiq sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, baginda tinggal di Quba. Baginda menanti kedatangan rombongan Sayidina Ali r.a. Nabi Muhammad saw memberitahu Abu Bakar As Siddiq bahwa baginda tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.

Selama dalam perjalanan itu, Sayidina Ali r.a tidak berkenderaan sama sekali. Ia berjalan kaki menempuh jarak 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya tiba semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Nabi Muhammad saw menyambut kedatangan orang-orang yang disayanginya itu.

Ketika Nabi Muhammad SAW melihat Sayidina Ali r.a tidak dapat berjalan kaki karena kakinya membengkak, baginda merangkul dan memeluknya sambil menangis karena sangat terharu. Baginda kemudian meludah di atas tapak tangan lalu diusapkan pada kaki Sayidina Ali r.a. Diiwayatkan, sejak itu hingga wafat, Sayidina Ali r.a tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.

Peristiwa yang sangat mengharukan itu sangat memberi kesan dalam hati Nabi Muhammad saw dan tidak dilupakan selama-lamanya. Berhubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam surah Ali Imran ayat 195.

Ijab Kabul Pernikahan


Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a mencapai puncak remaja dan kecantikannya ketika Islam dibawa Nabi Muhammad SAW sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sayidatina Fatimah Az Zahra r.a benar-benar telah menjadi anak gadis remaja.

Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pemuda terhormat yang menaruh harapan ingin mempersuntingkan puteri Nabi Muhammad saw itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Ansar telah berusaha melamarnya. Menghadapi lamaran itu, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa baginda sedang menanti datangnya petunjuk dari Allah SWT mengenai puterinya itu.

Pada suatu hari Abu Bakar As Siddiq r.a, Umar Ibnul Khattab r.a dan Saad bin Muaz bersama-sama Nabi Muhammad saw duduk dalam masjid baginda. Pada kesempatan itu dibincangkan antara lain persoalan puteri Nabi Muhammad saw. Ketika itu baginda bertanya kepada Abu Bakar As Siddiq r.a, “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”

Abu Bakar As Siddiq r.a menyatakan kesediaannya. Ia berangkat untuk menghubungi Sayidina Ali r.a. Sewaktu Sayidina Ali r.a melihat datangnya Abu Bakar As Siddiq r.a dengan tergopoh-gopoh, ia menyambutnya dengan terperanjat kemudian bertanya, “Anda datang membawa berita apa?”

Setelah duduk istirahat sejenak, Abu Bakar As Siddiq r.a segera menjelaskan persoalannya, “Wahai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai lebih keutamaan dibandingkan dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian juga engkau adalah kerabat Nabi Muhammad saw. SAW. Beberapa orang Sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada baginda untuk dapat mempersuntingkan puteri baginda. Lamaran itu semuanya baginda tolak. Baginda menyatakan, bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah SWT. Akan tetapi, wahai Ali, apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri baginda itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu.”

Mendengar perkataan Abu Bakar r.a itu, mata Sayidina Ali r.a. berlinang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Sayidina Ali r.a. berkata, “Wahai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang sebelumnya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa.”

Abu Bakar r.a terharu mendengar jawapan Sayidina Ali yang menyentuh perasaan itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Sayidina Ali r.a, Abu Bakar berkata, “Wahai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”

Setelah berlangsung dialog seterusnya, Abu Bakar r.a berjaya mendorong keberanian Sayidina Ali r.a. untuk melamar puteri Nabi Muhammad saw.

Beberapa waktu kemudian, Sayidina Ali r.a datang menghadap Nabi Muhammad saw yang ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salamah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Muhammad saw, “Siapakah yang mengetuk pintu?” Nabi Muhammad saw menjawab, “Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”

Jawapan Nabi Muhammad SAW itu belum dapat memuaskan hati Ummu Salamah r.a. ia bertanya lagi, “Ya, tetapi siapakah dia itu?”

“Dia saudaraku, orang kesayanganku!” jawab Nabi Muhammad SAW.

Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salamah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Sayidina Ali r.a kepada Nabi Muhammad SAW itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terhantuk-hantuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempatku semula. Dia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Nabi Muhammad saw. Ia dipersilakan duduk di depan baginda. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.

Nabi Muhammad saw mendahului berkata, “Wahai Ali, nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam pikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!”

Mendengar kata-kata Nabi Muhammad saw itu, lahir keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata, “Maafkanlah aku, ya Rasulullah. Engkau tentu ingat bahwa engkau telah mengambil aku dari paman engkau, Abu Thalib dan ibu saudara engkau, Fatimah binti Asad, ketika aku masih anak-anak dan belum mengerti apa-apa. Sesungguhnya Allah telah memberi hidayah kepadaku melalui engkau juga. Dan engkau, ya Rasulullah, adalah tempat aku bernaung dan engkau jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan Akhirat. Setelah Allah membesarkan aku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga, hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri engkau, Fatimah. Ya Rasulullah, apakah engkau berkenan menyetujui untuk menikahkan diriku dengannya?”

Ummu Salamah meneruskan kisahnya, “Ketika itu kulihat wajah Nabi Muhammad saw nampak berseri-seri. Sambil tersenyum baginda berkata kepada Ali bin Abi Talib, “Wahai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal mas kawin?”

“Demi Allah,” jawab Ali bin Abi Talib dengan terus terang, “Engkau sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak engkau ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta.”

“Tentang pedangmu itu,” kata Nabi Muhammad saw menanggapi jawapan Ali bin Abi Talib, “Engkau tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga perlu untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar mas kawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, engkau wajib bergembira, sebab Allah Azza wa Jalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikianlah  riwayat yang diceritakan Ummu Salamah r.a.

Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para Sahabat, Nabi Muhammad saw mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwasanya Allah SWT memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas  mas kawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”

“Ya, Nabi Muhammad saw, itu kuterima dengan baik,“ jawab Ali bin Abi Tali r.a dalam pernikahan itu.

Demikianlah berlakunya pernikahan antara dua orang yang sangat dicintai oelh Nabi Muhammad saw yakni puterinya, Sayidatina Fatimah dan Sahabat yang jua merupakan sepupu baginda yakni Sayidina Ali. Nabi Muhammad saw mendoakan keberkahan atas perkawinan itu.

Sejarah menyaksikan bahwa Fatimah puteri Nabi Muhammad saw adalah seorang wanita mulia yang menempuh berbagai ujian yang memerlukan pengorbanan yang cukup besar dalam hidupnya. Walaupun beliau adalah puteri Nabi Muhammad saw, namun hidupnya bukannyadiliputi kemewahan dan kesenangan, tetapi kemiskinan dan kesusahan. Ketika menikah dengan Saidina Ali, kehidupannya tetap susah. Walaupun Nabi Muhammad saw pemilik kepada seluruh kekayaan di muka bumi tapi baginda tidak pernah mendidik anaknya dengan kemewahan.

Sewaktu menjadi isteri Sayidina Ali, Sayidatina Fatimah mengurus sendiri keperluan rumah tangganya. Sayidina Ali sering tiada karena keluar berjuang bersama Nabi Muhammad saw.  Setiap hari, Sayidatina Fatimah mengangkut air dari sebuah sumur yang jauhnya dua batu dari rumahnya. Beliau mengisar tepung untuk keperluan makanan keluarganya. Dalam serba susah dan miskin, beliau tetap ingin bersedekah walaupun hanya dengan sebelah biji kurma. Sayidatina Fatimah tidak pernah mengeluh atau menyalahkan suaminya terhadap kesusahan yang terpaksa dihadapinya. Bahkan dikatakan bahwa seluruh kesusahan wanita di dunia ini telah ditanggung oleh beliau sehingga beliau tidak perlu dipoligamikan. Wanita mulia ini sangat pemalu dan sangat menjaga kehormatan dirinya.

Sewaktu Nabi Muhammad saw hampir wafat, dia menemani ayahanda kesayangannya itu. Ketika itu Nabi Muhammad saw telah berbisik ke telinga kanannya. Nabi Muhammad saw memberitahu Sayidatina Fatimah bahwa sudah sampai masanya untuk baginda menghadap Tuhan. Sayidatina Fatimah sungguh sedih karena akan berpisah dengan ayah yang sangat dikasihinya.  Kemudian baginda berbisik ke telinga kirinya pula. Sayidatina Fatimah tersenyum gembira. Rupa-rupanya, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa Sayidatina Fatimah adalah orang yang pertama yang akan menyusuli baginda.

Sayidatina Fatimah meninggal di usia 28 tahun, lebih kurang lima bulan selepas wafatnya Nabi Muhammad saw.

No comments:

Post a Comment