Sayidina Ali dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 13 Rajab,
12 tahun sebelum Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertamanya. Ibunya, Fatimah,
melahirkan Sayidina Ali di Kabah. Ketika itu, Fatimah dan suaminya Abu Talib
sedang melakukan tawaf di keliling Kabah. Fatimah yang mengandung tua,
tiba-tiba merasa sakit hendak bersalin. Saat itu Abu Talib mengira Fatimah
hanya keletihan maka dia membawa Fatimah istirahat di dalam Kabah sebelum
meneruskan tawafnya. Di waktu itu, lahirlah Sayidina Ali yang sangat besar
jasanya sebagai Sahabat dan menantu Nabi Muhammad saw, juga Amirul Mukminin
bagi umat Islam selepas kewafatan Nabi Muhammad saw. Kelahiran Sayidina Ali
hanya disaksikan oleh ayah dan ibunya saja.
Ketika umur Sayidina Ali 6 tahun, Mekah sedang dilanda
keadaan yang susah. Orang-orang yang banyak anak, pasti merasa susahnya hendak
memberi makan keluarganya. Di waktu itu Nabi Muhammad saw teringat jasa pamannya
Abu Talib yang pernah menjaga baginda sewaktu kecil. Kini pamannya telah tua
sedangkan anaknya banyak. Maka untuk membalas budi pamannya itu, Nabi Muhammad
saw yang waktu itu sudah menikah dengan Siti Khadijah, mengambil Sayidina Ali untuk
tinggal bersamanya. Sejak itu Sayidina Ali diasuh sendiri Baginda. Betapa
besarnya kasih sayang yang dicurahkan oleh Nabi Muhammad saw kepada Sayidina
Ali lantaran anak-anak lelaki Baginda telah meninggal.
Berada bersama keluarga Nabi Muhammad saw telah memberi
kesan yang sangat besar kepada pertumbuhan ruh Sayidina Ali. Beliau menyaksikan
dan mengikuti perkembangan jiwa dan pikiran Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad
saw sendiri yang menjadi penghubung antara Sayidina Ali dan Allah SWT.
Di samping perjuangannya di bidang akidah, ilmu dan
pemikiran, Sayidina Ali r.a juga terkenal sebagai seorang pemuda yang memiliki
kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai jasmani yang
sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah barang tentu, itu saja belum
menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela
kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung dan
kesetiaannya serta kecintaanya yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah
yang menjadi pendorong utama.
Sayidina Ali r.a tidak pernah hitung-hitungan risiko dalam
perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta
iman yang kukuh dan mantap, Sayidina Ali r.a benar-benar memenuhi
syarat-syaratsecara fisik dan ruhaniah untuk menghadapi tahapan perjuangan yang
serba berat.
Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi
yang kritis dan gawat, Sayidina Ali r.a selalu tampil memainkan peranan
penting. Selama hidup, beliau tidak pernah mengalami hidup enak. Sejak masa remaja
sampai akhir hayatnya, dia keluar masuk dari satu kesulitan menuju satu
kesulitan lain. Dari satu pengorbanan menuju satu pengorbanan yang lain. Namun
demikian, beliau tidak pernah menyesali nasib, bahkan dengan semangat
pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, beliau senantiasa siap siaga
menghadapi segala rintangan. Satu-satunya perkara yang menjadi keinginannya
siang dan malam, hanyalah ingin memperoleh keredhaan Allah dan Rasul-Nya.
Kesenangan hidup duniawi baginya tidak penting dibandingkan dengan cinta dan
redha dari Allah dan Rasul-Nya yang dijanjikan untuk hamba-Nya yang berani
hidup di atas jalan kebenaran.
Berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Nabi Muhammad saw.
Setiap kali diuji, setiap kali itu juga Sayidina Ali lulus dengan meraih nilai yang
amat tinggi. Ujian pertama yang sangat berat terjadi ketika Nabi Muhammad saw
menerima perintah Allah SWT supaya hijrah ke Madinah.
Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gelita, sekumpulan
kafir Qurays mengepung kediaman Nabi Muhammad saw dengan tujuan hendak membunuh
baginda, ketika baginda meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini, Sayidina Ali
r.a memainkan peranan besar. Beliau diminta oleh Nabi Muhammad saw supaya tidur
di atas tempat tidur baginda dan menutup tubuhnya dengan selimut baginda untuk
mengaburi mata orang-orang Qurays. Tanpa tawar-menawar, Sayidina Ali r.a
menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, tetapi karena
bimbang akan keselamatan Nabi Muhammad saw yang saat itu berkemas-kemas hendak
berhijrah meninggalkan kampung halaman.
Melihat Sayidina Ali menangis, maka Nabi Muhammad saw
bertanya, “Mengapa engkau menangis? Apakah engkau takut mati?”
Sayidina Ali r.a dengan tegas menjawab, “Tidak, ya Rasulullah!
Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, aku sangat khuatir terhadap
dirimu. Apakah anda akan selamat, ya Rasulullah?”
“Ya,” jawab Nabi Muhammad SAW dengan tidak ragu-ragu.
Mendengar kata-kata yang pasti dari Nabi Muhammad saw, Sayidina
Ali r.a terus berkata, “Baiklah, aku patuh dan kutaati perintahmu. Aku rela
menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya Rasulullah!”
Sayidina Ali r.a segera menghampiri tempat tidur Nabi
Muhammad saw kemudian menggunakan selimut baginda untuk menutupi tubuhnya.
Ketika itu orang-orang kafir Qurays sudah mula berdatangan di sekitar rumah Nabi
Muhammad saw dan mengepungnya dari setiap penjuru. Dengan perlindungan Allah
SWT dan sambil membaca ayat 9 surah Yasin, baginda keluar tanpa diketahui oleh
orang-orang yang sedang mengepung dan mengintip.
Orang-orang Qurays itu menyangka, bahwa orang yang sedang
berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad SAW. Mereka yang mengepung itu
mewakili suku-suku kabilah Qurays yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi
Muhammad SAW dengan pedang secara serentak. Dengan cara demikian, tidak mungkin
Bani Hasyim dapat menuntut balas.
Sayidina Ali r.a tahu apa kemungkinan yang akan menimpa
dirinya yang tidur di tempat tidur Nabi Muhammad saw. Hal itu sama sekali tidak
membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa beliau berserah
diri kepada Allah SWT. Beliau yakin, bahwalah Dialah yang menentukan
segala-galanya.
Menjelang subuh, Sayidina Ali r.a bangun. Gerombolan Qurays
terus menyerbu masuk ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya,
“Mana Muhammad? Mana Muhammad?”
“Aku tak tahu di mana Muhammad berada!” jawab Sayidina Ali
r.a dengan tenang.
Gerombolan Qurays itu segera mencari-cari di seluruh rumah
itu. Usaha mereka sia-sia belaka. Puak-puak kafir Qurays itu benar-benar kecewa.
“Mana Muhammad? Mana Muhammad?” mereka mengulangi
pertanyaan.
“Apakah kamu semua melantik aku menjadi penjaganya?” ujar Sayidina
Ali r.a dengan nada memperolok-olok. “Bukankah kamu semua berniat
mengeluarkannya dari negeri ini? Sekarang dia sudah keluar meninggalkan kamu
semua!”
Ucapan Sayidina Ali r.a sungguh-sungguh menggambarkan
ketabahan dan keberanian hatinya. Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, sama
sekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang Qurays itu dicemuhkan. Seandainya
ada seorang saja dari gerombolan itu menghayunkan pedang ke arah Sayidina Ali
r.a, entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak menghendaki hal itu.
Keesokan harinya, Sayidina Ali r.a berkemas-kemas
mempersiapkan segala keperluan untuk
berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Siti Fatimah r.a
menyusul perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam hijrahnya ke Madinah.
Rombongan Sayidina Ali r.a berangkat secara terang-terangan
di siang hari. Setibanya di Dhajnan, berlaku keadaan yang sungguh mencemaskan
antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Puak musyrikin telah berusaha
menghalang rombongan Sayidina Ali dari meninggalkan Kota Mekah.
Sayidina Ali r.a yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan
orang pertama yang menghunus pedang untuk mematahkan usaha bersenjata
orang-orang kafir Qurays. Dengan berani, beliau mengayunkan pedang ke arah
seorang musyrikin bernama Jenah yang berada di atas kudanya. Terbelahlah tubuh
Jenah menjadi dua. Melihatkan keadaan itu,
7 orang dari pasukan berkuda Qurays yang sebelum itu mengejar rombongan Sayidina
Ali lari pontang-panting. Dengan
keberanian Sayidina Ali itu, selamatlah rombongan kaum muslimin itu.
Ketika berlaku Perang Badar, yang merupakan perang pertama
yang terpaksa diharungi oleh kaum muslimin menghadapi musuh yang jauh lebih
besar jumlahnya, untuk pertama kalinya panji perang Nabi Muhammad saw berkibar
di medan pertempuran. Orang yang diberi
kepercayaan memegang panji yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama
Allah SWT itu ialah Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a.
Tanpa pengalaman perang sama sekali dan dengan kekuatan
pasukan yang hanya sepertiga kekuatan musuh, pasukan muslimin dengan iman yang
teguh berjaya mencipta sejarah yang sangat menentukan perkembangan Islam
seterusnya. Senjatan kaum muslimin waktu itu boleh dibilang dengan jari.
Tentera muslimin juga tidak memiliki pasukan berkuda dan penunggang unta, iaitu
pasukan yang dipandang paling ampuh pada masa itu. Begitu juga jumlah kuda dan
unta berbanding jumlah pasukan yang ada, sehingga seekor unta ditunggang oleh
dua hingga empat secara bergantian. Hanya ada seekor kuda yang tersedia, iaitu
yang ditunggang oleh Miqdad bin Al Aswad Al Kindiy. Itulah kekuatan lahiriah
pasukan Nabi Muhammad saw di dalam perang Badar.
Dalam perang Badar itu pasukan muslimin tidak sedikit yang
menerjang musuh hanya dengan senjata-senjata tajam yang sangat sederhana.
Sedangkan musuh yang dilawan mempunyai senjata lengkap dengan kuda-kuda
tunggangan dan unta-unta. Tetapi sebenarnya kaum muslimin mempunyai senjata
yang lebih ampuh berbanding lawannya, iaitu kepimpinan Nabi Muhammad saw dan
kepercayaan kuat bahwa Allah pasti akan memberikan pertolongan-Nya. Allahu
Akbar.
Ketika peperangan mula berkobar, Sayidina Ali bersama Sayidina
Hamzah bin Abdul Mutalib dan beberapa orang lainnya, berada di barisan hadapan.
Pada tangan Sayidina Ali r.a berkibar panji perang Nabi Muhammad saw. Beliau
terjun ke medan perang menerjang pasukan musuh yang jauh lebih besar dan kuat.
Dalam perang ini untuk pertama kalinya kalimah “Allahu Akbar” berkumandang
menyuburkan tekad pasukan muslimin.
Saat itu terdengar suara musuh menentang, “Wahai Muhammad,
suruhlah orang-orang yang berwibawa yang berasal dari Qurays supaya tampil!”
Mendengar tantangan itu, laksana singa lapar, Sayidina Ali
r.a meloncat maju ke depan mendekati suara yang menantang itu. Terjadilah
perang satu lawan satu antara Sayidina Ali r.a dengan Al Walid bin Utbah,
saudara Hindun isteri Abu Sufyan. Dalam pertempuran yang sengit itu, Al Walid
mati di hujung pedang Sayidina Ali r.a.
Dalam perang Badar ini, 70 orang pasukan kafir Qurays mati
terbunuh, dan hampir separuhnya mati di hujung pedang Sayidina Ali r.a. Selain
itu, lebih dari 70 orang pemuka Qurays berjaya ditawan dan dibawa ke Madinah.
Perang Badar yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin itu merupakan fajar
pagi yang menandakan sinar agama Allah SWT akan mula memenuhi bumi.
Dalam peperangan yang kedua yakni Perang Uhud, Nabi Muhammad
saw menyerahkan panji kaum muhajirin kepada Sayidina Ali r.a. Sedangkan panji
kaum Ansar diserahkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri. Peperangan
Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat gawat. 700 pasukan
muslimin harus berhadapan dengan 3000 pasukan kafir Qurays yang dipersiapkan
dengan bekalan dan senjata serba lengkap. Selain itu diperkuat pula dengan
pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan bin
Harb, untuk memberikan dorongan moral agar orang-orang kafir Qurays jangan
sampai lari meninggalkan medan perang.
Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusatkan
kekuatan di Uhud, pasukan muslimin di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw menuju
ke tempat itu, dengan melalui jalan pintas sehingga gunung Uhud berada di
belakang mereka. Kemudian Nabi Muhammad saw mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan
pemanah ditempatkan di sebuah lembah di antara dua bukit. Kepada mereka
diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang mereka. Ditekankan
jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan apa sekalipun. Sebab
hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan berkuda musuh dari belakang
dapat ditahan.
Perang Uhud mula berkobar dengan tampilnya Sayidina Ali r.a
ke depan menghadapi tentangan Talhah bin Abi Talhah yang mencabar dengan suara
lantang, “Siapakah yang akan ke depan berlawan satu dengan satu?”
Seperti api disiram dengan minyak, semangat Sayidina Ali r.a
membara. Dengan hayunan langkah tegap dan tenang, serta sambil mengetap
giginya, beliau mara dengan pedang terhunus. Baru saja Talhah bin Abi Talhah
menggerakkan tangan hendak menghayun pedang, secepat kilat pedang Sayidina Ali
r.a “Dzul Fikar” menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Nabi Muhammad
saw menyaksikan ketangkasan putera bapa saudaranya itu. Ketika itu kaum
muslimin yang menyaksikan ketangkasan Sayidina Ali r.a, mengumandangkan takbir
masing-masing.
Dengan tewasnya Talhah bin Abi Talhah, pertarungan sengit
berkecamuk antara dua pasukan. Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai
ikatan maut di kepala dan pedang terhunus di tangan kanan yang baru saja diserahkan
oleh Nabi Muhammad saw kepadanya. Dia seorang yang sangat berani. Laksana
harimau keluar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan membunuh siapa
saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah, Sayidina
Ali r.a menghuru-harakan barisan musuh.
Dalam pertempuran ini, Sayidina Hamzah bin Abdul Mutalib
tidak kalah semangat berbanding dengan keponakannya sendiri, Sayidina Ali r.a
dan Abu Dujanah. Hamzah begitu lincah dan tangkas menerobos pasukan musyrikin
dan menewaskan setiap orang yang berani menghampiri. Ia terkenal sebagai tokoh besar
dalam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badar, dalam perang Uhud ini,
Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang sangat ampuh.
Banyak musuh yang mati di hujung pedangnya.
Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000
pasukan musyrikin itu, kita saksikan gabungan kekuatan ruhaniah dan lahiriah Sayidina
Ali r.a, Hamzah dan Abu Dujanah. Suatu kekuatan yang membuat pasukan Qurays
menderita.
Sayang seribu kali sayang. Ketika tentera Muslimin hampir
menang, mereka tergoda dengan harta rampasan perang yang banyak. Pasukan
memanah terlupakan pesanan Nabi Muhammad saw agar tidak meninggalkan posisi
mereka. Mereka turun dari bukit untuk mengambil harta-harta yang ditinggalkan
tentera musyrikin. Waktu itulah pihak musuh kembali menyusun barisan dan
memulakan serang ke atas tentera Islam yang sedang terleka.
Keadaan kembali gawat. Barisan tentera Islam telah
bercerai-berai, terpisah dari pimpinan Nabi Muhammad saw. Di saat-saat genting
itu, Sayidina Ali r.a dan para Sahabat lainnya segera melindungi Nabi Muhammad
saw. Dengan segenap kekuatan yang ada, mereka menangkis setiap serangan yang
datang demi menyelamatkan Nabi Muhammad saw. Semua sudah bertekad untuk mati
syahid, terlebih lagi setelah melihat Nabi Muhammad saw terkena lemparan batu
besar yang dilemparkan oleh Utbah bin Abi Waqash. Akibat lemparan batu itu,
geraham Nabi Muhammad saw patah, wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka parah dan
dua kepingan rantai topi besi melindungi wajah baginda menembus pipinya.
Setelah dapat menguasai diri kembali, Nabi Muhammad saw
berjalan perlahan-lahan dikelilingi oleh sejumlah Sahabat. Tiba-tiba baginda
terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali oleh Abu Amir untuk
menjebak pasukan muslimin. Sayidina Ali r.a bersama beberapa orang Sahabat
lainnya cepat-cepat mengangkat baginda. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud
untuk diselamatkan dari diburu musuh. Di celah-celah bukit, Sayidina Ali r.a
mengambil air untuk membasuh wajah Nabi Muhammad saw dan menyirami kepala
baginda. Dua buah kepingan rantai besi yang menancap dan menembusi pipi baginda
dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan giginya, sehingga dua batang gigi
depannya tertanggal.
Demikian sebagian rentetan perjuangan Sayidina Ali yang
turut terjun ke medan peperangan bersama Nabi Muhammad saw. Sayidina Ali terkenal sebagai seorang yang
sangat pemurah. Sewaktu hidupnya, beliau yang miskin, sangat suka membantu
janda-janda dan anak-anak yatim tanpa pengetahuan mereka. Beliau selalu meletakkan makanan di
pintu-pintu rumah mereka di waktu malam. Setelah beliau meninggal, barulah
mereka tahu bahwa selama ini mereka mendapat makanan dari Sayidina Ali karena
setelah beliau tiada maka mereka tidak lagi mendapat makanan di pintu rumah
mereka.
Sayidina Ali adalah seorang Sahabat Nabi Muhammad saw yang
sangat cerdik dan luas ilmunya. Nabi
Muhammad saw pernah menyebut bahwa Sayidina Ali adalah gudang ilmu. Setelah
kewafatan Khalifah ketiga yakni Khalifah Uthman Ibnu Affan maka Sayidina Ali
dilantik sebagai Khalifah yang keempat.
Kata Sayidina Ali:
“Allah SWT mengetahui betapa aku tidak suka memimpin
pemerintahan atau memegang kekuasaan di kalangan umat Nabi Muhammad SAW sebab
aku mendengar sendiri baginda bersabda: Tidak ada seorang penguasa pun yang
memerintah umatku, yang kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyatnya, untuk
diperlihatkan catatan-catatan perbuatanya. Jika dia seorang yang adil, maka
selamatlah. Tapi jika dia seorang yang berlaku zalim, akan tergelincirlah ke
dalam Neraka.”
Allah SWT mentakdirkan Sayidina Ali meninggal dunia pada 17
Ramadhan tahun 40 Hijrah. Ketika beliau sedang berjalan menuju ke masjid untuk sholat
Subuh, tiba-tiba muncul Abdul Rahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Pedang
itu telah mencederai Sayidina Ali dengan parah hingga beliau rebah. Sayidina Ali kemudiannya diusung pulang ke
rumahnya oleh para Sahabat. Ketika itu banyak yang ingin menuntut balas tetapi Sayidina
Ali sendiri dengan lapang dada dan ikhlas langsung tidak menyebut tentang balas
dendam. Umat Islam merasa sedih melihat keadaan Sayidina Ali yang semakin
lemah. Sayidina Ali tahu bahwa sudah hampir masanya untuk beliau menyusul Nabi
Muhammad saw dan tiga orang Khalifah baginda sebelum ini. Dalam keadaan yang
sungguh berat itu, Sayidina Ali sempat berwasiat:
“Ku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada
Allah. Janganlah kalian mengejar dunia walau dunia mengejar kalian dan
janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu terlepas darimu. Hendaklah kalian mengatur baik-baik urusan
kalian dan jagalah hubungan persaudaraan antara kalian. Ketahuilah,
pertengkaran itu merusakkan agama dan ingatlah bahwa tidak ada kekuatan apa pun
selain atas perkenan Allah. Perhatikan anak-anak yatim agar jangan sampai
mereka kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Perhatikan Al Quran, jangan
sampai kalian mendahulukan orang lain dalam mengamalkannya. Perhatikan tetangga
kalian sebab mereka adalah wasiat Nabi kalian.”
No comments:
Post a Comment