Monday, March 2, 2015

Sayidina Ali bin Abi Thalib

Sayidina Ali dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 13 Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertamanya. Ibunya, Fatimah, melahirkan Sayidina Ali di Kabah. Ketika itu, Fatimah dan suaminya Abu Talib sedang melakukan tawaf di keliling Kabah. Fatimah yang mengandung tua, tiba-tiba merasa sakit hendak bersalin. Saat itu Abu Talib mengira Fatimah hanya keletihan maka dia membawa Fatimah istirahat di dalam Kabah sebelum meneruskan tawafnya. Di waktu itu, lahirlah Sayidina Ali yang sangat besar jasanya sebagai Sahabat dan menantu Nabi Muhammad saw, juga Amirul Mukminin bagi umat Islam selepas kewafatan Nabi Muhammad saw. Kelahiran Sayidina Ali hanya disaksikan oleh ayah dan ibunya saja.

Ketika umur Sayidina Ali 6 tahun, Mekah sedang dilanda keadaan yang susah. Orang-orang yang banyak anak, pasti merasa susahnya hendak memberi makan keluarganya. Di waktu itu Nabi Muhammad saw teringat jasa pamannya Abu Talib yang pernah menjaga baginda sewaktu kecil. Kini pamannya telah tua sedangkan anaknya banyak. Maka untuk membalas budi pamannya itu, Nabi Muhammad saw yang waktu itu sudah menikah dengan Siti Khadijah, mengambil Sayidina Ali untuk tinggal bersamanya. Sejak itu Sayidina Ali diasuh sendiri Baginda. Betapa besarnya kasih sayang yang dicurahkan oleh Nabi Muhammad saw kepada Sayidina Ali lantaran anak-anak lelaki Baginda telah meninggal.

Berada bersama keluarga Nabi Muhammad saw telah memberi kesan yang sangat besar kepada pertumbuhan ruh Sayidina Ali. Beliau menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan pikiran Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw sendiri yang menjadi penghubung antara Sayidina Ali dan Allah SWT.


Di samping perjuangannya di bidang akidah, ilmu dan pemikiran, Sayidina Ali r.a juga terkenal sebagai seorang pemuda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah barang tentu, itu saja belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung dan kesetiaannya serta kecintaanya yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.

Sayidina Ali r.a tidak pernah hitung-hitungan risiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kukuh dan mantap, Sayidina Ali r.a benar-benar memenuhi syarat-syaratsecara fisik dan ruhaniah untuk menghadapi tahapan perjuangan yang serba berat.

Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Sayidina Ali r.a selalu tampil memainkan peranan penting. Selama hidup, beliau tidak pernah mengalami hidup enak. Sejak masa remaja sampai akhir hayatnya, dia keluar masuk dari satu kesulitan menuju satu kesulitan lain. Dari satu pengorbanan menuju satu pengorbanan yang lain. Namun demikian, beliau tidak pernah menyesali nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, beliau senantiasa siap siaga menghadapi segala rintangan. Satu-satunya perkara yang menjadi keinginannya siang dan malam, hanyalah ingin memperoleh keredhaan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup duniawi baginya tidak penting dibandingkan dengan cinta dan redha dari Allah dan Rasul-Nya yang dijanjikan untuk hamba-Nya yang berani hidup di atas jalan kebenaran.

Berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Nabi Muhammad saw. Setiap kali diuji, setiap kali itu juga Sayidina Ali lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang sangat berat terjadi ketika Nabi Muhammad saw menerima perintah Allah SWT supaya hijrah ke Madinah.

Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gelita, sekumpulan kafir Qurays mengepung kediaman Nabi Muhammad saw dengan tujuan hendak membunuh baginda, ketika baginda meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini, Sayidina Ali r.a memainkan peranan besar. Beliau diminta oleh Nabi Muhammad saw supaya tidur di atas tempat tidur baginda dan menutup tubuhnya dengan selimut baginda untuk mengaburi mata orang-orang Qurays. Tanpa tawar-menawar, Sayidina Ali r.a menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, tetapi karena bimbang akan keselamatan Nabi Muhammad saw yang saat itu berkemas-kemas hendak berhijrah meninggalkan kampung halaman.

Melihat Sayidina Ali menangis, maka Nabi Muhammad saw bertanya, “Mengapa engkau menangis? Apakah engkau takut mati?”

Sayidina Ali r.a dengan tegas menjawab, “Tidak, ya Rasulullah! Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, aku sangat khuatir terhadap dirimu. Apakah anda akan selamat, ya Rasulullah?”

“Ya,” jawab Nabi Muhammad SAW dengan tidak ragu-ragu.

Mendengar kata-kata yang pasti dari Nabi Muhammad saw, Sayidina Ali r.a terus berkata, “Baiklah, aku patuh dan kutaati perintahmu. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya Rasulullah!”

Sayidina Ali r.a segera menghampiri tempat tidur Nabi Muhammad saw kemudian menggunakan selimut baginda untuk menutupi tubuhnya. Ketika itu orang-orang kafir Qurays sudah mula berdatangan di sekitar rumah Nabi Muhammad saw dan mengepungnya dari setiap penjuru. Dengan perlindungan Allah SWT dan sambil membaca ayat 9 surah Yasin, baginda keluar tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintip.

Orang-orang Qurays itu menyangka, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad SAW. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku kabilah Qurays yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi Muhammad SAW dengan pedang secara serentak. Dengan cara demikian, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.

Sayidina Ali r.a tahu apa kemungkinan yang akan menimpa dirinya yang tidur di tempat tidur Nabi Muhammad saw. Hal itu sama sekali tidak membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa beliau berserah diri kepada Allah SWT. Beliau yakin, bahwalah Dialah yang menentukan segala-galanya.

Menjelang subuh, Sayidina Ali r.a bangun. Gerombolan Qurays terus menyerbu masuk ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya, “Mana Muhammad? Mana Muhammad?”

“Aku tak tahu di mana Muhammad berada!” jawab Sayidina Ali r.a dengan tenang.

Gerombolan Qurays itu segera mencari-cari di seluruh rumah itu. Usaha mereka sia-sia belaka. Puak-puak kafir Qurays itu benar-benar kecewa.

“Mana Muhammad? Mana Muhammad?” mereka mengulangi pertanyaan.

“Apakah kamu semua melantik aku menjadi penjaganya?” ujar Sayidina Ali r.a dengan nada memperolok-olok. “Bukankah kamu semua berniat mengeluarkannya dari negeri ini? Sekarang dia sudah keluar meninggalkan kamu semua!”

Ucapan Sayidina Ali r.a sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan keberanian hatinya. Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, sama sekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang Qurays itu dicemuhkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu menghayunkan pedang ke arah Sayidina Ali r.a, entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak menghendaki hal itu.

Keesokan harinya, Sayidina Ali r.a berkemas-kemas mempersiapkan segala keperluan  untuk berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Siti Fatimah r.a menyusul perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam hijrahnya ke Madinah.

Rombongan Sayidina Ali r.a berangkat secara terang-terangan di siang hari. Setibanya di Dhajnan, berlaku keadaan yang sungguh mencemaskan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Puak musyrikin telah berusaha menghalang rombongan Sayidina Ali dari meninggalkan Kota Mekah.

Sayidina Ali r.a yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus pedang untuk mematahkan usaha bersenjata orang-orang kafir Qurays. Dengan berani, beliau mengayunkan pedang ke arah seorang musyrikin bernama Jenah yang berada di atas kudanya. Terbelahlah tubuh Jenah menjadi dua. Melihatkan keadaan itu,   7 orang dari pasukan berkuda Qurays yang sebelum itu mengejar rombongan Sayidina Ali lari pontang-panting.  Dengan keberanian Sayidina Ali itu, selamatlah rombongan kaum muslimin itu.

Ketika berlaku Perang Badar, yang merupakan perang pertama yang terpaksa diharungi oleh kaum muslimin menghadapi musuh yang jauh lebih besar jumlahnya, untuk pertama kalinya panji perang Nabi Muhammad saw berkibar di medan pertempuran.  Orang yang diberi kepercayaan memegang panji yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama Allah SWT itu ialah Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a.

Tanpa pengalaman perang sama sekali dan dengan kekuatan pasukan yang hanya sepertiga kekuatan musuh, pasukan muslimin dengan iman yang teguh berjaya mencipta sejarah yang sangat menentukan perkembangan Islam seterusnya. Senjatan kaum muslimin waktu itu boleh dibilang dengan jari. Tentera muslimin juga tidak memiliki pasukan berkuda dan penunggang unta, iaitu pasukan yang dipandang paling ampuh pada masa itu. Begitu juga jumlah kuda dan unta berbanding jumlah pasukan yang ada, sehingga seekor unta ditunggang oleh dua hingga empat secara bergantian. Hanya ada seekor kuda yang tersedia, iaitu yang ditunggang oleh Miqdad bin Al Aswad Al Kindiy. Itulah kekuatan lahiriah pasukan Nabi Muhammad saw di dalam perang Badar.

Dalam perang Badar itu pasukan muslimin tidak sedikit yang menerjang musuh hanya dengan senjata-senjata tajam yang sangat sederhana. Sedangkan musuh yang dilawan mempunyai senjata lengkap dengan kuda-kuda tunggangan dan unta-unta. Tetapi sebenarnya kaum muslimin mempunyai senjata yang lebih ampuh berbanding lawannya, iaitu kepimpinan Nabi Muhammad saw dan kepercayaan kuat bahwa Allah pasti akan memberikan pertolongan-Nya. Allahu Akbar.

Ketika peperangan mula berkobar, Sayidina Ali bersama Sayidina Hamzah bin Abdul Mutalib dan beberapa orang lainnya, berada di barisan hadapan. Pada tangan Sayidina Ali r.a berkibar panji perang Nabi Muhammad saw. Beliau terjun ke medan perang menerjang pasukan musuh yang jauh lebih besar dan kuat. Dalam perang ini untuk pertama kalinya kalimah “Allahu Akbar” berkumandang menyuburkan tekad pasukan muslimin.

Saat itu terdengar suara musuh menentang, “Wahai Muhammad, suruhlah orang-orang yang berwibawa yang berasal dari Qurays supaya tampil!”

Mendengar tantangan itu, laksana singa lapar, Sayidina Ali r.a meloncat maju ke depan mendekati suara yang menantang itu. Terjadilah perang satu lawan satu antara Sayidina Ali r.a dengan Al Walid bin Utbah, saudara Hindun isteri Abu Sufyan. Dalam pertempuran yang sengit itu, Al Walid mati di hujung pedang Sayidina Ali r.a.

Dalam perang Badar ini, 70 orang pasukan kafir Qurays mati terbunuh, dan hampir separuhnya mati di hujung pedang Sayidina Ali r.a. Selain itu, lebih dari 70 orang pemuka Qurays berjaya ditawan dan dibawa ke Madinah. Perang Badar yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin itu merupakan fajar pagi yang menandakan sinar agama Allah SWT akan mula memenuhi bumi.

Dalam peperangan yang kedua yakni Perang Uhud, Nabi Muhammad saw menyerahkan panji kaum muhajirin kepada Sayidina Ali r.a. Sedangkan panji kaum Ansar diserahkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri. Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3000 pasukan kafir Qurays yang dipersiapkan dengan bekalan dan senjata serba lengkap. Selain itu diperkuat pula dengan pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan bin Harb, untuk memberikan dorongan moral agar orang-orang kafir Qurays jangan sampai lari meninggalkan medan perang.

Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusatkan kekuatan di Uhud, pasukan muslimin di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw menuju ke tempat itu, dengan melalui jalan pintas sehingga gunung Uhud berada di belakang mereka. Kemudian Nabi Muhammad saw mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan di sebuah lembah di antara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan apa sekalipun. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan berkuda musuh dari belakang dapat ditahan.

Perang Uhud mula berkobar dengan tampilnya Sayidina Ali r.a ke depan menghadapi tentangan Talhah bin Abi Talhah yang mencabar dengan suara lantang, “Siapakah yang akan ke depan berlawan satu dengan satu?”

Seperti api disiram dengan minyak, semangat Sayidina Ali r.a membara. Dengan hayunan langkah tegap dan tenang, serta sambil mengetap giginya, beliau mara dengan pedang terhunus. Baru saja Talhah bin Abi Talhah menggerakkan tangan hendak menghayun pedang, secepat kilat pedang Sayidina Ali r.a “Dzul Fikar” menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Nabi Muhammad saw menyaksikan ketangkasan putera bapa saudaranya itu. Ketika itu kaum muslimin yang menyaksikan ketangkasan Sayidina Ali r.a, mengumandangkan takbir masing-masing.

Dengan tewasnya Talhah bin Abi Talhah, pertarungan sengit berkecamuk antara dua pasukan. Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai ikatan maut di kepala dan pedang terhunus di tangan kanan yang baru saja diserahkan oleh Nabi Muhammad saw kepadanya. Dia seorang yang sangat berani. Laksana harimau keluar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan membunuh siapa saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah, Sayidina Ali r.a menghuru-harakan barisan musuh.

Dalam pertempuran ini, Sayidina Hamzah bin Abdul Mutalib tidak kalah semangat berbanding dengan keponakannya sendiri, Sayidina Ali r.a dan Abu Dujanah. Hamzah begitu lincah dan tangkas menerobos pasukan musyrikin dan menewaskan setiap orang yang berani menghampiri. Ia terkenal sebagai tokoh besar dalam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badar, dalam perang Uhud ini, Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang sangat ampuh. Banyak musuh yang mati di hujung pedangnya.

Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000 pasukan musyrikin itu, kita saksikan gabungan kekuatan ruhaniah dan lahiriah Sayidina Ali r.a, Hamzah dan Abu Dujanah. Suatu kekuatan yang membuat pasukan Qurays menderita.

Sayang seribu kali sayang. Ketika tentera Muslimin hampir menang, mereka tergoda dengan harta rampasan perang yang banyak. Pasukan memanah terlupakan pesanan Nabi Muhammad saw agar tidak meninggalkan posisi mereka. Mereka turun dari bukit untuk mengambil harta-harta yang ditinggalkan tentera musyrikin. Waktu itulah pihak musuh kembali menyusun barisan dan memulakan serang ke atas tentera Islam yang sedang terleka.

Keadaan kembali gawat. Barisan tentera Islam telah bercerai-berai, terpisah dari pimpinan Nabi Muhammad saw. Di saat-saat genting itu, Sayidina Ali r.a dan para Sahabat lainnya segera melindungi Nabi Muhammad saw. Dengan segenap kekuatan yang ada, mereka menangkis setiap serangan yang datang demi menyelamatkan Nabi Muhammad saw. Semua sudah bertekad untuk mati syahid, terlebih lagi setelah melihat Nabi Muhammad saw terkena lemparan batu besar yang dilemparkan oleh Utbah bin Abi Waqash. Akibat lemparan batu itu, geraham Nabi Muhammad saw patah, wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka parah dan dua kepingan rantai topi besi melindungi wajah baginda menembus pipinya.

Setelah dapat menguasai diri kembali, Nabi Muhammad saw berjalan perlahan-lahan dikelilingi oleh sejumlah Sahabat. Tiba-tiba baginda terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali oleh Abu Amir untuk menjebak pasukan muslimin. Sayidina Ali r.a bersama beberapa orang Sahabat lainnya cepat-cepat mengangkat baginda. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud untuk diselamatkan dari diburu musuh. Di celah-celah bukit, Sayidina Ali r.a mengambil air untuk membasuh wajah Nabi Muhammad saw dan menyirami kepala baginda. Dua buah kepingan rantai besi yang menancap dan menembusi pipi baginda dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan giginya, sehingga dua batang gigi depannya tertanggal.

Demikian sebagian rentetan perjuangan Sayidina Ali yang turut terjun ke medan peperangan bersama Nabi Muhammad saw.  Sayidina Ali terkenal sebagai seorang yang sangat pemurah. Sewaktu hidupnya, beliau yang miskin, sangat suka membantu janda-janda dan anak-anak yatim tanpa pengetahuan mereka.  Beliau selalu meletakkan makanan di pintu-pintu rumah mereka di waktu malam. Setelah beliau meninggal, barulah mereka tahu bahwa selama ini mereka mendapat makanan dari Sayidina Ali karena setelah beliau tiada maka mereka tidak lagi mendapat makanan di pintu rumah mereka.

Sayidina Ali adalah seorang Sahabat Nabi Muhammad saw yang sangat cerdik dan luas ilmunya.  Nabi Muhammad saw pernah menyebut bahwa Sayidina Ali adalah gudang ilmu. Setelah kewafatan Khalifah ketiga yakni Khalifah Uthman Ibnu Affan maka Sayidina Ali dilantik sebagai Khalifah yang keempat.

Kata Sayidina Ali:

“Allah SWT mengetahui betapa aku tidak suka memimpin pemerintahan atau memegang kekuasaan di kalangan umat Nabi Muhammad SAW sebab aku mendengar sendiri baginda bersabda: Tidak ada seorang penguasa pun yang memerintah umatku, yang kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyatnya, untuk diperlihatkan catatan-catatan perbuatanya. Jika dia seorang yang adil, maka selamatlah. Tapi jika dia seorang yang berlaku zalim, akan tergelincirlah ke dalam Neraka.”

Allah SWT mentakdirkan Sayidina Ali meninggal dunia pada 17 Ramadhan tahun 40 Hijrah. Ketika beliau sedang berjalan menuju ke masjid untuk sholat Subuh, tiba-tiba muncul Abdul Rahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Pedang itu telah mencederai Sayidina Ali dengan parah hingga beliau rebah.  Sayidina Ali kemudiannya diusung pulang ke rumahnya oleh para Sahabat. Ketika itu banyak yang ingin menuntut balas tetapi Sayidina Ali sendiri dengan lapang dada dan ikhlas langsung tidak menyebut tentang balas dendam. Umat Islam merasa sedih melihat keadaan Sayidina Ali yang semakin lemah. Sayidina Ali tahu bahwa sudah hampir masanya untuk beliau menyusul Nabi Muhammad saw dan tiga orang Khalifah baginda sebelum ini. Dalam keadaan yang sungguh berat itu, Sayidina Ali sempat berwasiat:

“Ku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar dunia walau dunia mengejar kalian dan janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu terlepas darimu.  Hendaklah kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan antara kalian. Ketahuilah, pertengkaran itu merusakkan agama dan ingatlah bahwa tidak ada kekuatan apa pun selain atas perkenan Allah. Perhatikan anak-anak yatim agar jangan sampai mereka kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Perhatikan Al Quran, jangan sampai kalian mendahulukan orang lain dalam mengamalkannya. Perhatikan tetangga kalian sebab mereka adalah wasiat Nabi kalian.”

No comments:

Post a Comment